Berakhirnya Sejarah Tari Sunda

Sejak kontroversi wacana tari Sunda muncul melalui sosok Gugum Gumbira dan Tati saleh pada akhir 1970-an, hampir 40 tahun lebih setelah itu, publik belum menemukan kembali wacana penciptaan karya baru. Jaipongan, oleh karena itu, bisa disebut merupakan puncak dari kreativitas masyarakat Jawa Barat mutakhir.
Sejak digagas oleh Gugum Gumbira dan populer bersama Tati Saleh, jaipongan yang mengisi siklus sejarah perkembangan tari di Jawa Barat, hampir tidak memiliki saingan penting. Apalagi munculnya pengganti. Tentu saja setiap karya yang muncul di luar jaipongan tetap diterima pararel di tengah komunitasnya dan memiliki penikmatnya tersendiri. Namun, harus diakui hingga kini tidak ditemukan paradigma baru yang melahirkan tarian baru yang mampu mengalahkan popularitas jaipongan.
Siklus tersebut analog dengan periodisasi karawitan Sunda yang direpresentasikan oleh kemapanan tembang Sunda Cianjuran. Pada perkembangannya lahir bandungan dan sekar anyar tetapi tidak sesignifikan 'revolusi' jaipongan terhadap tarian populer sebelumnya. Setelah melewati sekian dekade, terbukti tembang Sunda Cianjuran masih kokoh sebagai mainstream di antara kedua bentuk karawitan baru tersebut. Sementara Japiongan hadir secara kuat di atas karya tari sebelumnya.
Peran Tati Saleh
Gugum Gumbira yang melahirkan jaipongan sebagai bentuk eskpresi, sekaligus 'perlawanan' terhadap eksklusivitas tarian yang ada di jamannya, berusaha menampilkan karya baru yang mendobrak kebiasaan umum. Catatan formal sejarah termasuk literatur jaipongan tidak pernah luput menuliskan Gugum dalam tinta emas sejarah jaipongan. Namun sebenarnya, dalam perjalanan penting jaipongan, Gugum tidaklah sendirian membesarkan jaipongan. Di dalam sejarah jaipongan terdapat sosok yang tidak bisa dilepaskan begitu saja, selain dari pada para pangrawit yang membantu Gugum menciptakan tarian baru, terdapat 'murid' sekaligus penerjemah atau 'kepanjangan tangan' terbaik di masanya. Sosok tersebut adalah Tati Saleh yang pada periode perkembangan jaipongan sempat menjadi 'jaipongan' itu sendiri. Bagaimana tidak, di saat pertunjukan jaipongan dicekal di masa Gubernur Aang Kunaefi (1980), pencekalan itu spesifik terhadap jaipongan yang dibawakan Tati Saleh. Bahkan tarian yang menampilkan gerakan jaipongan, hanya boleh dipentaskan tanpa nama jaipongan dan tanpa Tati Saleh. Di titik ini jaipongan adalah Tati Saleh itu sendiri. Beberapa literatur menyebutkan bahwa saat itu jaipongan secara gencar dipentaskan di acara-acara prestisius dan elit seperti dalam jamuan kenegaraan dan acara besar resmi lainnya. Tati Saleh berhasil membawa jaipongan naik ke level yang tinggi.
Rongeng dan Putri
Dalam konfigurasi jaipongan, terdapat dua konstruksi pengetahuan yang melekat erat melalui sosok yang berbeda, meskipun pada kenyataannya lebih dikenal pada satu sosok saja. Yakni ronggeng atau perempuan yang diidentikasi dengan pelacuran dan pelbagai hal negatif yang melekat padanya bersama tarian. Di dalam jaipongan karya Gugum, sebetulnya terdapat antitesis terhadap konstruksi pengetahuan tersebut. Karya-karya tari Gugum dalam konteks jaipongan memang identik dengan ronggeng. Hal ini diafirmasi dengan kehadiran bentuk gerakan geol, gitek dan goyang yang selanjutnya dijustifikasi sebagai tarian erotis yang kemudian populer dengan sebutan “tiga g” (3g). Jejaring gerak tarian tersebut terintegrasi dalam setiap tarian jaipongan populer, yang implikasinya dalam pelbagai literatur disebut tari pergaulan.
Di titik lain, melalui karya Gugum terbaru, terdapat tarian yang mematahkan identikasi tersebut, yakni tari Kawung Anten. Tarian ini murni pertunjukan satu arah tanpa reaksi verbal dari apresiator atau non-pergaulan. Karya ini mengangkat sebuah tema khusus yang lebih ekspresif.
Tari jaipongan Kawung Anten adalah karya tari yang terinspirasi cerita putri kerajaan bernama Kawung Anten yang heroik membela tanah kelahirannya dari serangan musuh. Kawung Anten adalah perempuan yang memimpin sebuah pertempuran, sementara peperangan identik dengan laki-laki. Maka tidaklah mengherankan jika dalam karya ini kesan yang lebih muncul adalah heroisme dan maskulinitas. Dalam konteks ini, dua konstruksi pengetahuan yang melekat pada jaipongan menjadi eksis, yakni melalui sosok ronggeng yang ekspresif dengan gerakan erotis, dan sosok putri Kawung Anten yang ekpresif dengan kesan heroik. Kawung Anten merepresentasikan perempuan kerajaan yang menegasi atau paling tidak mengimbangi identikasi erotisme jaipongan.
Menanti Pemberontak Baru
Gugum Gumbira di masanya merupakan 'pemberontak' yang melawan kemapanan eksistensi tari populer yang ada di masyarakat. Kini Gugum telah menjadi maestro yang terus berkarya. Produktivitas Gugum dalam dunia tari mampu menjaga stagnasi apresiasi tari. Sejarah barangkali belum mau membawa siklus tari pada perubahan baru yang revolusioner sebagaimana yang dilakukannya dulu. Namun apabila siklus itu telah datang, masyarakat Jawa Barat akan menanti munculnya seniman yang mengetengahkan karya baru untuk dijadikan perdebatan baru.
Di masanya, jaipongan karya Gugum, merupakan gerakan tari yang 'aneh'. Lambat laun publik bisa menerimanya dan ikut bangga menjadi bagian dari aprisiatornya. Misalnya dibuktikan dengan reaksi spontan publik saat jaipongan “digoyang” oleh dua gubernur Jabar; Aang Kunaefi dan Ahmad Heryawan. Namun gubernur terakhir baru-baru ini melakukan klarifikasi, negasi terhadap tuduhan yang menyatakan bahwa dirinya kontra terhadap jaipongan. Hal ini, lagi-lagi menguatkan akhir dari sejarah wacana jaipongan, di mana kenyataan tersebut tentu saja akan menghentikan polemik (diskursus) dalam tari Sunda itu sendiri, dan menjadikan posisi jaipongan semakin mapan tanpa 'goyangan'.
Saat ini kita hanya bisa membayangkan akankah lahir tarian baru yang berbeda dari jaipongan, keurseus, tayub dan tarian lain sebelumnya? Akankah lahir 'pemberontak' baru sebagaimana Gugum dahulu? Pemberontak yang dinantikan itu adalah seniman yang sanggup menghadirkan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin melalui karya tarinya. Maka, mari kita tunggu saja, apakah akan muncul karya baru yang menggantikan kemapanan jaipongan atau justru jaipongan yang akan terus melejit sebagai karya besar terakhir seniman tari Sunda dan sekaligus menutup siklus sejarah kreatifitas tari di Jawa Barat untuk waktu yang entah sampai kapan.
***
oleh: Pepep DW
dimuat di rubrik "Forum" Mimbar Tribun Jabar, hari Kamis 28 Februari 2013
ilustrator: Wahyudi Utomo
innalillahi wa innailaihi rojiun.
diposting ulang dalam rangka menghormati almarhum, teriring doa untukmu sang maestro... alfatihah
Gugum Gumbira 4 April 1945 - 4 Januari 2020
Comments
Post a Comment