Mendefiniskan Ulang Makna Pencinta Alam
DISKURSUS PE[N]CINTA ALAM
membaca relasi kesadaran identitas dan alam
dalam perspektif postmodernitas
oleh: Pepep DW
ditulis
dalam rangka FGD “Mendefiniskan Ulang Makna Pencinta Alam”
Gd.
Indonesia Menggugat, Bandung 9 April 2017
Diskursus atau wacana dalam kacamata
ilmu humaniora merupakan salah satu jejaring penting dalam menyingkap makna
yang tidak kasat mata. Secara umum, wacana merupakan manifestasi yang
menunjukkan cara berpikir masyarakat (paradigma). Apa yang masyarakat pahami,
apa yang masyarakat definisikan merupakan bentuk wacana yang paling sederhana
dalam menunjukkan cara berpikir dan memiliki implikasi terhadap cara
bersikap/berperilaku.
Misalnya saja, dalam wacana manusia dan
alam, masyarakat Sunda mendefinisikan dirinya sebagai “manusia gunung” atau
“orang gunung”[1]
hal tersebut mengonstruksi pemikiran bahwa setiap sendi kehidupan manusia Sunda
selalu dikembalikan kepada alam yang
spesifik pada gunung dan hutan.
Lebih jauh lagi misal dalam wacana “Timur
dan Barat”, Edward Said berpendapat bahwa cara berpikir “cogito ergo sum” barat
memiliki tautan langsung dengan konsep kolonialisme. Masyarakat barat yang
mendefinisikan dirinya sebagai “manusia yang berpikir” melahirkan sikap manusia
di luar dirinya sebagai objek, maka lahir lah orientalisme.[2]
Maka dari itu, wacana juga selalu didefinisikan sebagai kekuatan yang tidak
tampak, tetapi nyata, memaksa semua orang untuk mengikutinya.[3]
Wacana “manusia”, “barat” dan seterusnya
merupakan gugus wacana yang hidup di dalam masyarakat. Begitu pula dengan
“pe[n]cinta alam” atau PA, keberadaannya di masyarakat merupakan bentuk wacana
sebagai jejaring pernyataan, definisi, penilaian, pengakuan, sampai sikap
manusia yang relasional dengan gagasan/ide dari “pencinta alam” itu sendiri.
Dalam konteks ini, wacana PA menjadi resiprokal atau saling membalas, dalam
arti secara khusus “PA” memiliki identitas definisinya sendiri, tetapi di saat
yang sama masyarakat memiliki penilai definisi-nya sendiri sesuai dengan apa
yang dilihat dan diterjemahkannya langsung.
Berdasarkan kenyataan tersebut,
pertanyaannya adalah bagaimana “pecinta alam” hari ini diterjemahkan,
didisiplinkan, baik secara formal maupun secara plural di tengah masyarakat?
Diskursus
Formal Pe[n]cinta Alam
Definisi merupakan salah satu diskursus
yang menjadi “barometer” suatu konsep, ide, untuk diterjemahkan dan dipahami.
Secara sederhana “PA” dapat didefinisikan maknanya tersendiri melalui beberapa
konteks, antara lain: konteks historis kepencintaalaman, makna leksikal formal
(bahasa), makna formal konsitusional, dan makna pragmatis dalam budaya populer-kontemporer.
Sebut saja misalnya setelah budaya “menikmati” alam dan “kontemplasi” melalui
alam mulai merebak.[4]
Secara historis kepencintaalaman,
beberapa literatur menyebutkan definisi PA sebagai berikut:
Pencinta alam atau pecinta
alam adalah istilah yang dipergunakan untuk kelompok-kelompok yang
bergerak di bidang lingkungan hidup dan konservasi alam. Di Indonesia istilah
ini merujuk pada kelompok yang bergerak di bidang petualangan alam bebas.[5]
Salah satu konstruksi pengetahuan dari wacana
di atas menyebutkan beberapa hal penting, di antaranya; konsepsi kelompok, lingkungan hidup dan konservasi,
serta petualangan alam bebas.
Konstruksi definisi di atas merupakan konstruksi semantik historis yang secara
sintaktis atau secara relasional dikuatkan dengan konstruksi wacana yang
dilahirkan oleh kode etik pe[n]cinta alam.
Kode etik pe[n]cinta alam Indonesia memuat wacana penting yang
relasional dengan definisi di atas, sebagaimana bunyi kode etik tersebut:
“Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya
adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
Pecinta Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kepada
Tuhan, bangsa, dan tanah air
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah
sebagian dari makhluk yang mencintai
alam sebagai anugerah yang Mahakuasa
Sesuai dengan hakikat di atas, kami dengan kesadaran
menyatakan :
1. Mengabdi
kepada Tuhan Yang Maha Esa
2. Memelihara alam
beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya
3. Mengabdi
kepada bangsa dan tanah air
4. Menghormati
tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai
manusia dan martabatnya
5. Berusaha
mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan asas pecinta
alam
6. Berusaha saling
membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan,
bangsa dan tanah air
7. Selesai
Disyahkan bersama dalam Gladian Nasional ke-4
Ujung Pandang, 1974”
Definisi umum PA terkait lingkungan
hidup dan konservasi dikuatkan secara eksplisit dalam mukadimah dan point-point
kode etik, dengan demikian secara historis wacana umum PA adalah manusia baik
sebagai makhluk personal maupun komunal yang memiliki komitmen tinggi terhadap
alam dan totalitas lingkungan hidup, baik secara teologis, maupun secara
sosio-antropologis.
Di samping makna historis, “Pe[n]cinta
Alam” juga tidak bisa dipisahkan maknanya dari sifat bahasa itu sendiri, yakni
makna etimologis. Definisi dan eksistensi kode etik merupakan makna
spesial/terbatas sesuai dengan pengguna makna tersebut. Sebagaimana hakekat
dari bahasa sebagai sistem komunikasi, setiap bahasa berlaku bagi
masyarakat/kelompok yang menyepakatinya sesuai dengan konvensi yang berlaku.
Dalam hal ini tentu saja kelompok PA dengan kode etik yang menjadi pegangannya.
Secara etimologi, makna PA dapat dilihat
secara leksikal formal berdasarkan legitimasi lembaga bahasa dalam menerjemahkannya.
Dalam konteks linguistik “pencinta alam” merupakan afiksasi “cinta” dengan
imbuhan “pe-pen” yang memiliki fungsi “orang yang melakukan perbuatan”, perbuatan mencintai yang spesifik
terhadap alam. Beberapa literatur menyebutkan definisi “pecinta alam” secara
etimologi sebagai berikut:
“Pecinta” artinya orang yang
mencintai, dan “alam” dapat
diartikan segala sesuatu yang ada di sekitar kita
Kemudian KBBI sebagai otoritas bahasa
mengartikan fragmen “pencinta alam” sebagai berikut:
“pen·cin·ta (n) orang
yang sangat suka akan” dan
“alam
(n) segala yang ada di
langit dan di bumi”
Dengan demikian, makna “pencinta alam”
secara leksikal formal adalah orang yang sangat suka terhadap segala sesuatu
yang ada di langit dan di bumi. Tetapi dalam konteks pragmatis, atau penggunaan
umumnya di masyarakat berdasarkan KBBI, PA diidentikasi sebagai kelompok yang
suka mendaki gunung, pada titik ini secara pragmatis telah terjadi reduksi
makna, khususnya penyempitan terhadap konteks di mana “mendaki” dan “gunung”
menjadi lokus (tempat) yang spesifik.
Di samping makna leksikal formal,
ternyata “Pe[n]cinta Alam” juga didefinisikan secara formal konstitusional, hal
ini sebagaimana dapat ditemukan dalam sebuah dokumen SK Dirjen Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam.
Secara kontinyu, makna PA dan dokumen SK
memiliki relasi langsung, khususnya terkait wacana “konservasi”, “alam”, dan
“perlindungan” yang digunakan sebagai terminologi konstruksi wacana. Lalu,
bagaimana konteks bahasa formal konstitusional tersebut mendefinisikan
“pencinta alam”?
Dalam dokumentasi yang dikeluarkan pada
tahun 2006, disebutkan definisi PA sebagai berikut:
Pencinta
alam adalah orang/anggota masyarakat yang mempunyai minat dan hobi di bidang "cinta alam"
dan mau membantu dalam perlindungan terhadap proses ekologis penunjang sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman sumber daya alam dan pelestarian
pemanfaatan bagi terjaminnya jenis sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.[6]
Secara pragmatis, dalam konteks eksekusi
program pemerintah, konstruksi pengetahuan dari “pencinta alam” di atas, memuat
beberapa kata kunci penting, yaitu munculnya kata “minat dan hobi”, dengan
demikian “pencinta alam” dalam konteks ini didefinisikan maknanya sebagai “kegemaran; kesenangan istimewa pada waktu
senggang, bukan pekerjaan utama” sebagaimana hobi diterjemahkan oleh otoritas
bahasa.
Pada titik ini, diskurus “pencinta alam” tanpa disadari mengalami
reinterpretasi. Dari definisi awal secara historis yang tidak memuat “hobi”
sebagai terminologi yang eksplisit baik dalam definisi umum, maupun kode etik,
tetapi kemudian secara gamblang disebutkan di sini.
Di samping reinterpretasi wacana,
khususnya makna “pencinta alam” secara formal berdasarkan catatan sejarah,
“pencinta alam” hari ini juga sebetulnya secara plural didefinisikan secara bebas
oleh setiap anggota masyarakat. Penggunaan terminologi “pencinta alam” ini
digunakan baik secara langsung mengambil tautan dari makna historis, pada
definisi leksikal/bahasa formal, atau secara bebas mengambi definisi dari
kecenderungan masyarakat hari ini dalam menggunakan kata “pencinta alam”.
Jika kita runut proses penyempitan makna
“pencinta alam”, definisi alam dalam sejarah wacana di atas telah menyempit
dari “alam” yang bersifat holistik, kemudian spesifik menjadi alam yang
diwakili oleh “gunung” dan “hutan” saja. Selain dari pada itu, dari data fakta
catatan di atas, dengan sederhana dapat dilihat juga pergeseran makna,
khususnya dari konteks pengabdian terhadap alam yang dominan, menjadi
pemanfaatan yang menonjol, khususnya terkait munculnya wacana “hobi”.
Sejak saat itu pula –dan mungkin
sebelumnya juga sudah identik— wacana “pencinta alam” kemudian selalu
dilekatkan dengan “pertualangan”, seperti menembus hutan, menembus batas
ketinggian, dan seterusnya. Sederhananya, semakin rimba hutan belantara raya
yang dapat dijamah, kadang menjadi barometer prestasi kepencintaalamannya.
Kenyataan ini bisa kita lihat, salah
satunya melalui bodaya populer masyarakat dalam memperlakukan alam, khususnya
dalam menunjang kebutuhan hobi. Pasca diekploitasi dan diangkatnya “keindahan”
alam melalui beberapa filem layar lebar misalnya, kontan kegiatan alam bebas
khususnya pada gunung dan hutan-hutan meningkat tajam.
Hal ini terlihat dari minat kunjungan
terhadap Taman Nasional dan gunung-gunung dengan status lainnya meningkat
tajam, dan dalam konteks wacana “pencinta alam”, masyarakat melihat dan menilai
setiap kegiatan tersebut sebagai kegiatan PA.
Dengan demikian, definisi “pencinta
alam” telah mengalami penyempitan makna, dan bahkan cenderung mengalami peyorasi,
terutama ketika pencemaran yang terjadi di gunung dan hutan dalam konteks
tertentu diidentikasi sebagai biang dari kegiatan para “pencinta alam”. [7]
Genealogi:
Ekspedisi & Penaklukan, Implikasi Kerusakan Alam dan Lahirnya Konsep
Pencinta Alam
Geneologi merupakan terminologi yang
digunakan Michel Foucault dalam membongkar asal-usul wacana, konsep ini juga
yang digunakan Edward Said dalam “orientalisme” untuk membongkar asal-usul
kolonialisme. Dalam konteks kebudayaan lama Nusantara, sama sekali tidak
dikenal istilah “pencinta alam” secara formal. Masyarakat Sunda misalnya, bagi
mereka yang menjaga hutan, gunung dan totalitas alam yang kita sebut sebagai
ekspresi mencintai alam, sama sekali tidak diberi predikat khusus. Kenapa?
Karena bagi masyarakat Sunda lama, menjaga alam bukan lah sebuah predikat
khusus yang secara spesial ditugaskan pada bagian tertentu. Apalagi dalam
konteks penamaan untuk menunjukkan kegiatan seseorang yang keluar masuk hutan,
turun dan naik gunung.
Sebagai contoh Bujangga Manik, dalam
naskah yang ditulis di akhir abad ke XIV ini, disebutkan bahwa dalam
perjalanan-nya sepanjang Pakuan (Bogor) menuju Bali, beliau dicatat mendaki
hampir seluruh gunung yang dilewati sepanjang perjalanannya. Bujangga Manik
tidak serta merta disebut sebagai “pencinta alam”, apalagi “backpacker”.
Sebutan bagi masyarakat pada masa lampau terkait apa yang dilakukan Bujangga
Manik adalah “sang peziarah”.[8]
Dalam hal ini gunung dan hutan tidak diperlakukan sebagai hal yang dapat
diekploitasi, bahkan untuk sekadar dieksplorasi dalam arti bertualang.
Catatan lama lainnya menyebutkan cerita
tentang Junghuhn, seorang alpinis, dan ahli botani zoologi termasyur di
zamannya. Sebagaimana alpinis pada umumnya, mendatangi gunung-gunung adalah hal
yang akrab dilakukan, terutama mendatangi gunung yang dianggap belum dikunjungi
manusia, khususnya manusia Eropa. Alih-alih menjadi pendaki pertama, Junghuhn
dan para pendaki Eropa lainnya dikejutkan dengan temuan bekas-bekas kegiatan
manusia di kawasan sekitar hutan Gede-Pangrango. Di sekitar kawah yang baru
ditemuinya itu, mereka menemukan patilasan
(jejak) berupa batu-batu yang dipercaya sebagai makam nenek moyang masyarakat.
Maka sejak itu, Junghuhn menyakini bahwa beradab-abad sebelum kedatangannya ke
Hindia-Belanda, dan menapakkan kaki di puncak Gunung Gede-Pangrango, masyarakat
asli wilayah Sunda telah lama berkunjung, mendaki gunung, berkegiatan, serta
memperlakukan gunung secara khas sesuai dengan kultur masyarakat Timur.[9]
Kenyataan tersebut menunjukkan, bahwa
manusia Sunda sejak lama sudah akrab dan tidak bisa dipisahkan dengan gunung,
hutan, dan totalitas alam lainnya. Apakah cerita tersebut kemudian dapat
dijadikan alasan bagi kita sehingga menyebut nenek moyang kita seorang pencinta
alam?
Jika saja pencinta alam yang dimaksud
adalah pencinta alam formal sebagaimana definisi di atas, tentu saja tidak.
Apalagi definisi pencinta alam yang hanya sekadar hobi naik gunung. Tetapi
dalam konteks esensi “menjaga”, masyarakat Sunda lama sudah menunjukkan contoh
terbaik bagaimana memperlakukan alam.
Karena itu, masyarakat Sunda lama
memandang alam sebagai bagian dari ekologi, sejajar dengan manusia, tidak ada
objektifikasi yang memisahkan manusia sebagai subjek, dan alam sebagai objek
yang bisa dieksploitasi secara semena-mena. Hal ini sebagaimana pandangan
antropologi struktural yang mempercayai konsep “manusia
selaras dengan alam”. Hal tersebut bertolak belakang dengan konsep berpikir
Barat, khususnya paradigma yang memandang alam sebagai “the other”, dan manusia
sebagai pusat definisi segala bentuk materi di dunia. Dalam hal ini,
antropologi struktural menyebutkan bahwa masyarakat
barat memiliki pandangan hidup “bahwa manusia menguasai alam”.[10]
Maka, berbagai tempat yang dianggap
belum terjamah, rimba belantara, akhirnya berusaha untuk didatangi dengan
konsep “ekspedisi”. Cara berpikir masyarakat Barat pada waktu itu adalah
“menaklukan”, dalam hal ini alam sebagai objek yang bisa diekplorasi, bahkan
dieksploitasi. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana ekspedisi pertama
pegunungan Alpin, hutan belantara masyarakat Timur, hingga manusia-nya itu
sendiri, sehingga kemudian melahirkan konsep kolonialisme.
Salah satu implikasi dari cara berpikir
Barat seperti di atas pada akhirnya melahirkan cara berpikir “progresif”,
melahirkan teknologi, yang dalam konteks tertentu pada masa tersebut
menyebabkan kerusakan pada alam itu sendiri[11].
Konsekwensi dari kolonialisme adalah eksploitasi di segala bidang, dari
perbudakan manusia, hingga pemanfaatan kekayaan alam secara membabi buta. Sebut
saja contoh paling sederhana, bagaimana hutan dan gunung-gunung di Bandung
bagian selatan dialihfungsikan menjadi perkebunan teh pada masa Hindia-Belanda,
serta pegunungan Malabar yang dibabat habis untuk “radio Malabar” misalnya, dan
masih banyak contoh lainnya.
Dalam konteks genealogi subjek-objek,
manusia-alam, barangkali sejak saat itu konsep “mencintai alam” lahir. Dalam
hal ini yang dimaksud sejarah kelahiran bukan tentang sejarah formal awal
munculnya “perkumpulan pencinta alam”, melainkan wacana “mencintai alam”. Fakta
bahwa manusia Sunda (misalnya) sebelum kolonialisme memiliki konsep selaras dan
menyatu dengan alam, sama sekali tidak mungkin melahirkan “cinta alam” yang
terpisah. Cinta alam, dalam konteks biner dilahirkan karena adanya “perusak
alam”, sehingga semangat “pencinta alam” adalah semangat yang dilahirkan atas
dasar keprihatinan terhadap kerusakan alam yang ada. Kecuali para pencinta alam
memang sepakat bahwa sejarah wacana kelahiran “pencinta alam” muncul dari
semangat bertualang, menaklukan, dan memisah tajam jarak subjek-objek antara
manusia yang eksploitatif dan alam sebagai objek yang dieksploitasi.
Pencinta
Alam di Antara Kerusakan Alam Mutakhir
Indonesia merupakan Negara kepulauan,
kenyataan tersebut berbanding lurus dengan fakta luasan kepulauan/daratan
Indonesia yang lebih kecil di banding lautan. Dalam konteks kerusakan, entah
harus dari sisi dan sumber mana lagi data harus mulai kita sebutkan.
Kebingungan tersebut bukan karena sulit memilih lokasi alam yang rusak, tetapi
karena kenyataan hari ini menunjukkan, bahwa kerusakan alam di Indonesia dan
pulau Jawa khususnya terjadi di hampir semua lini.
Pe[n]cinta alam yang dalam perkembangannya
dikenal sebagai pelopor jiwa petualang, secara disadari maupun tidak memiliki
konsekwensi, baik yang sifatnya positif mau pun negatif. Salah satu sifat
positif adalah dalam konteks ilmu pengetahuan di mana kegiatan yang sifatnya
pelopor, pioneer mampu menyuguhkan pengetahuan baru. Namun dalam banyak hal,
kegiatan alam bebas yang diidentikasi sebagai yang dipelopori oleh kegiatan
“pencinta alam” juga menyebabkan dampak negatif.
Sebagai contoh, barangkali tidak asing
ketika kita suguhkan nama-nama seperti Pulau Sempu, Tegal Panjang, Tegal Alun,
Gunung Tilu, dan terakhir Ciharus di komplek pegunungan Rakutak. Disadari atau
pun tidak, penggiat yang identik dengan pe[n]cinta alam merupakan sosok pertama
yang membuka jalur tersebut, meramaikannya sebagai tempat tujuan camping atau sekadar lintas alam.
Kemudian secara khusus dalam kasus Ciharus, setelah pendaki gunung yang identik
dengan pencinta alam, selanjutnya masuk pengunjung yang ramai tanpa pemisahan
identitas pencinta alam dan non pencinta alam, dan kemudian masuk pula kegiatan
offroad dalam bentuk motor trail. Setelah itu, kerusakan lainnya yang lebih
massif pun tidak bisa dibendung.
Padahal, semua nama yang disebutkan di
atas adalah kawasan dengan status tertinggi dalam leveling kawasan konservasi. Nama status tersebut adalah Cagar
Alam, atau masyarakat adat lebih mengenalnya sebagai kawasan “larang”. Kini
kerusakan tidak hanya ditimbulkan akibat kunjungan saja, tetapi perburuan
hingga deforestasi berupa penyalahgunaan kawasan untuk kepentingan ekonomi.
Sederhananya kegiatan merusak dari yang sifatnya rekreasi hingga kepentingan
hidup berbaur jadi satu. Fakta bahwa hari ini hampir seluruh kawasan hutan dan
gunung-gunung, berada dalam kondisi yang rusak tidak memberikan pilihan banyak
kepada kita, kecuali bertindak untuk menceganya berjalan semakin parah.
Fakta menunjukkan bahwa kegiatan
kunjungan pada kawasan dengan status Cagar Alam, ternyata memiliki implikasi
pada kemungkinan kerusakan lainnya yang lebih massif. Mengetahui kenyataan
tersebut bisa kah kita yang memiliki identitas pe[n]cinta alam untuk berhenti
mengunjugi kawasan Cagar Alam?
Untuk itu, dalam upaya untuk
menghentikan kerusakan yang terus terjadi, maka diangkatlah kampanye dengan
tajuk #sadarkawasan #saveciharus dan #savecagaralam. Argumentasi kampanye yang
menggunakan status kawasan Cagar Alam sebagai alasan agar dihentikannya
kegiatan yang merusak ternyata berjalan dengan efektif. Satu tahun setelah
kampanye, kawasan hutan Ciharus terhenti dari kegiatan offroad, dan di saat
yang sama beberapa masyarakat lokal justru menjadi bagian dalam proses
reforestasi.
Namun fakta tersebut berbanding terbalik
dengan mereka yang menggunakan identitas pencinta alam di pundaknya. Dalam
perjalanan kampanye, justru tim kampanye disibukan untuk menghadapi
“perlawanan”, resistensi dari para penggiat, khususnya yang menggunakan
identitas pencinta alam sebagai serangan balik kampanye. Dalam batas tertentu,
sebetulnya tidak menjadi bagian dari kampanye merupakan hak setiap orang, tetapi
ketika memilih untuk menjadi bagian dari penyebab kerusakan hutan dan di situ
identitas pencinta alam digunakan, maka secara sederhana dalam konteks
pemikiran relasi “cinta alam” dan usaha mencegahaan kerusakan alam, kenyataan
tersebut sulit untuk diterima.
Pada titik ini, pertanyaan kemudian
muncul: “semangat pencinta alam yang mana yang dijadikan argumentasi, sehingga
kegiatan eksploratif yang menimbulkan kerusakan bisa dibenarkan?”
Pada titik ini pula, penting untuk kita
merenungkan kembali wacana “pencinta alam”. Terutama dalam konteks konstruksi
wacana dan paradigma yang berkembang dalam dunia kepencintaalaman.
Jangan-jangan, semangat pencinta alam sudah begitu jauh terlepas dari esensi
awal lahiran pencinta alam, terutama dalam konteks masa kini di mana kegiatan
alam bebas sudah inklusif dilakukan oleh hampir setiap lini masyarakat.
Mendefinisikan
Ulang Makna Pe[n]cinta Alam: Ketika Identitas Pencinta Alam digunakan Sebagai
Bagian dari Perusak Alam.
Mendefinisikan ulang, dalam konteks
istilah populer dikenal dengan terminologi “reinterpretasi”. Sementara itu
dalam konteks wacana, filsafat, dan ilmu humaniora pada umumnya, dan khususnya dalam
paradigma berpikir postmodern, mendefinisikan ulang dikenal juga sebagai metode
“dekonstruksi”.[12]
Tradisi mendefinisikan ulang, dalam
perjalanan filsafat, sosio-antoropologi telah berjalan lama, bahkan menyentuh
hal-hal yang sifatnya tabu. Sebagai contoh, konsep “manusia” pada awalnya
didefinisikan sebagai pusat dari setiap elemen kehidupan, wacana manusia dalam
konteks ini dirasa begitu antroposentis sehingga melahirkan sikap bahwa hal
lain di luar dirinya adalah objek yang bisa dieksploitasi. Sehingga definisi
“manusia” kemudian didefinisikan ulang dengan menempatkan manusia sebagai
bagian dari ekologi, wacana ini diangkat untuk menanamkan kesadaran pada diri
manusia bahwa kita tidak bisa dipisahkan dengan totalitas kehidupan lain.
Selain itu, contoh lain yang juga
mengalami reinterpretasi adalah konsep “gender”. Pada awal kemunculannya,
konsep gender hanya diartikan sebagai perbedaan laki-laki dan perempuan secara
seks/jenis kelamin, namun kemudian para pemikir sosial mendefinisikan ulang
konsep gender dari hanya sekadar seks menjadi konteks sosio-antropologis.[13]
Dan contoh terakhir yang paling tabu
barangkali adalah apa yang dilakukan oleh Nietzsche, di mana dalam pemikirannya
yang paling mencolok Nietzche menyatakan
bahwa “tuhan telah mati”. Tuhan telah mati dalam konteks ini adalah Nietzsche
berusaha mendefinisikan ulang konsep “tuhan” dalam konteks zaman tersebut,
terutama mengenai etika masyarakat pada waktu itu. Dengan mematikan tuhan, maka
wacana yang diangkat Nietzsche adalah wacana kekebasan manusia dari
doktrin-doktrin agama.[14]
Meskipun analog dengan beberapa contoh
di atas, dalam konteks wacana pencinta alam ini reinterpertasi makna “pencinta
alam” tidak lah serumit pendekatan filsafat secara epistemologis.
Reinterpretasi dalam konteks ini lebih bersifat praktis dalam proses pewacanaan
kampanye penghentian kerusakan di dalam kawasan Cagar Alam.
Mendefinisikan ulang juga tidak bersifat
formalistik, sebab faktanya definisi formalistik tidak dapat menjawab persoalan
alam hari ini. Selain itu mendefinisikan ulang “pencinta alam” dalam konteks
leksikal bahasa tentu saja bukan personal dalam tulisan ini, sebab
hanya balai bahasa yang memiliki otoritas tersebut.
Di saat yang sama, mendefinisikan ulang
makna “pencinta alam” juga bukanlah kerja semacam kongres tandingan yang berusaha
merevisi makna formal hasil sebuah kongres kelompok PA tertentu misalnya.
Mendefinisikan ulang “pencinta alam”
dalam konteks wacana adalah mencari relasi logis antara definisi dan kenyataan
di lapangan, dengan demikian sifat reinterpretasi semacam ini lebih plural dan
bisa menyentuh setiap sumber wacana, baik dari wacana bahasa, maupuan wacana
definisi khusus hasil kongres tertentu. Tetapi sekali lagi, tetap dalam konteks
wacana di luar kegiatan formalistik.
Mendefinisikan ulang makna
pencinta alam dengan melihat persoalan hari ini adalah usaha untuk merevisi pemikiran
bahwa “alam adalah objek bagi para pencinta alam”. Pertimbangan tersebut diangkat
beradasarkan fakta di lapangan –ketika kampanye #sadarkawasan dilaksanakan— di
mana salah satu subjek yang menjadi bagian kerusakan alam adalah mereka yang
menggunakan identitaas pencinta alam. Sementara itu mereka berargumentasi dalam
‘melawan’ kampanye penghentian kerusakan di Cagar Alam tersebut, dengan
menyatakan bahwa “alam dicipatakan tuhan untuk dinikmati”.
Padahal, dalam pandangan kampanye #sadarkawasan, ketika
kerusakan alam terus terjadi, dan argumentasi berhenti mengunjungi Cagar Alam
dapat menghentikan kerusakan alam, bukan kah itu begitu mudah bagi kita,
kalian, dan mereka yang menyebut dirinya Pencinta Alam, mudah bukan?
________
Catatan:
Tulisan ini sebagaimana disampaikan di atas merupakan materi diskusi yang diselenggarakan pada tahun 2017, ada beberapa diksi yang diubah, khususnya revisi kutipan kata "...kerabatnya" dalam poin kode etik Pecinta Alam yang seharusnya "martabatnya", namun demikian awalnya diksi "kerabatnya" tidak ditulis bold sebab tidak begitu relevan dengan tulisan ini, setelah membaca penjelasan dari esensi diksi "martabatnya" dari tulisan Yat Lessie kemudian ditulis bold sebab memiliki relevansi yang mendukung semangat konservasi.
Reinterpretasi diskursus "pencinta alam" penting untuk dilakukan untuk 'mengembalikan' marwah kepencintaalaman yang belakangan bias ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa kegiatan alam bebas yang inklusif semakin jauh dari nilai-nilai ideal pencinta alam.
Sekali lagi, melalui tulisan ini disampaikan apresiasi dan hormat tinggi pada kawan kawan Pencinta Alam yang terikat dengan sakralitas kode etik pencinta alam.
Bayangkan jika seluruh pencinta alam menjadi garda terdepan dalam penyelamatan alam, sungguh kekuatan yang besar bagi kelestarian alam.
[masih] salam lestari!
[1]
Sebagaimana ditulis Jonathan Rigg 1862
[2] Konsep
umum Edward Said dalam “orientalisme” yang menjadi salah satu kunci teori
“postcolonialisme”
[3] Al Makin,
2016:39
[4] Salah satu
contohnya pasca ramainya “filem 5cm”, di mana setiap gunung kemudian ramai
dikunjungi, dan semua orang menjadi pendaki gunung. Pada titik ini kegiatan
alam bebas menjadi kegiatan yang bersifat inklusif.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/pencinta_alam dalam
keterangan metadata terkait penyuntingan, laman ini memuat keterangan: “Halaman ini terakhir diubah pada 2 November 2016, pukul
15.33”
[6] SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam. dengan kode: SK.45/IV-Set/HO/2006
[7] Sebut saja
misalnya kasus Leuweung Tengah, di mana dominasi penggunaan dilakukan oleh
pendidikan dasar pencinta alam yang kondisinya hari ini tercemar oleh sampah
organic dan non-organic.
[8] J. Noorduyn & Ateew yang diterjemahkan Hawe
Setiawan pada tahun 2009 dengan judul “pesona tiga naskah sunda”.
[9] Pepep Dw,
“Mendaki Gunung Dalam Sejarah Budaya Masyarakat Lama” RMol, 2016.
[10] Kusnaka
Adimiharja & Purnama Salura, dalam “Arsitektur dalam Bingkai Budaya”
[11]
Ibid
[12] Lihat misalnya
konsepsi “posmodernisme” yang ditulis Bambang Sugiharto dalam buku berjudul
“postmodernisme: tantangan bagi filsafat”.
[13]
Dalam konteks ilmuan sosial Indonesia, kita bisa membaca tulisan Mansour Fakih
dalam “reinterpretasi gender” (1996).
[14] Nietzsche, Die
fröhliche Wissenschaft, seksi 125. Secara sederhana bisa dibaca versi bahasa
Indonesia dari lama Wikipedia, sementara untuk pendalaman bisa membaca Marcel
Neusch: “Friedrich Netzsche (1844-1900); Lawan Tangguh Kristiani”
dalam Damanhuri Fattah (ed.) 2004, 10 Filsuf Pemberontak Tuhan.
Ebobet merupakan situs slot online via deposit pulsa aman dan terpercaya, Dengan menggunakan Satu User ID bisa bermain semua game dari Bola, Live Casino, Slot online, tembak ikan, poker, domino dan masih banyak yang lain.
ReplyDeleteSangat banyak bonus yang tersedia di ebobet di antaranya :
Bonus yang tersedia saat ini
Bonus new member Sportbook 100%
Bonus new member Slot 100%
Bonus new member Slot 50%
Bonus new member ALL Game 20%
Bonus Setiap hari 10%
Bonus Setiap kali 3%
Bonus mingguan Cashback 5%-10%
Bonus Mingguan Rollingan Live Casino 1%
Bonus bulanan sampai Ratusan Juta
Bonus Referral
Minimal deposit hanya 10ribu
EBOBET juga menyediakan berbagai layanan transaksi deposit dan withdraw Bank Lokal terlengkap Indonesia seperti Bank BCA - Bank BNI46 - Bank BRI - Bank Mandiri - Bank Danamon - Bank Cimb Niaga, OVO, Deposit via Ovo. Deposit via Dana, Deposit via Go Pay, Telkomsel dan XL.
Situs :EBOBET
WA : +855967598801