Sejarah Pencinta Alam Indonesia.
Pepep DW
Kali ini saya ingin sedikit bercerita tentang wacana kemungkinan menulis sejarah pencinta alam. Tetapi sebelum saya lanjutkan, saya harus sampaikan dulu bahwa dalam perjalanan kampanye cagar alam, sebetulnya secara peryuiyuiyuiyuyuisan ini selesai dibuat, saya masih memiliki perasaan sungkan dalam mengangkat wacana “sejarah pencinta alam”.
Namun akhirnya, dalam
hal “wacana kemungkinan menulis” saya akan tetap ceritakan kemungkinan menulis
sejarah pencinta alam tersebut. Kemungkinan ini tidak bisa dilepaskan dari
dorongan salah satu pelaku sejarah kepencintaalaman di Bandung yang sudah lama
saya kenal, namanya kang Deni Hamdani, pendiri salah satu Mapala sekaligus juga
KPA (kelompok pencinta alam luar kampus) yang cukup tua di Bandung,
Beberapa kali kang Ham ngajak "hayu urang tulis sejarah pencinta
alam", kita temui kang
Nondi Eff (penulis buku “Setitik
Cahaya di Kegelapan” - 50 tahun Wanadri), mudah-mudahan beliau tertarik,
sementara fokuskan pembahasannya kita focus saja dalam batas Bandung. "meungpeung masih araya
keneh pelaku sejarah utama-na" selagi para tokoh pelaku sejarah masih ada, ujarnya.
Saya tidak meng-iya-kan, tidak juga menolak, alasan tidak langsung
nerima ajakan karena saya jelas bukan penulis sejarah, apalagi menjadi penulis
sejarah yang baik, tapi juga tidak menolak sebab saya justru merasa saat ini
saya menyaksikan pencinta alam tengah menulis sejarahnya sendiri.
Menulis sejarah-nya sendiri dalam arti, ia “on the way” ada dalam catatan sejarah karena ia
berkarya, sekali lagi "ada karena berkarya".
Kang Ham, dalam postingannya di laman facebook
berjudul "Seabad Pencinta Alam Indonesia", menulis dengan jelas
bagaimana suasana kelahiran pencinta alam di masa tahun 1950 hingga 1970-an
yang dilandasi atas semangat "kebaruan" dalam kegiatan alam bebas,
pencinta alam menjadi pelopor dalam kegiatan "baru" yang bersifat
minat khusus yang sebelumnya tidak umum dilakukan kelompok masyarakat sipil.
Detailnya, begini ia
tulis:
SATU ABAD
PECINTA ALAM INDONESIA ?
(dongeng
menjelang KLB FK KBPA BR)
Satu Abad ?
memangnya nanti masih ada gitu PA di tanah air ini ? Kalau mengacu pada
sejarah, tentu berdirinya PPA (Perkoempoelan
Petjinta Alam) Yogyakarta di tahun 1952 bisa dijadikan pijakan, walau
ada juga yang mengacu pada kelahiran WANADRI dan MAPALA UI di tahun 1964.
Padahal dalam bentang waktu itu-pun lahir IPKA Malang pada tahun 1954 serta
MARABUNTA dan ? di lereng Merbabu pada 1963. So what gitu lho...
Lantas tak
dapat dipungkiri lahirnya organisasi PA tak bisa lepas dari dinamika sejarah
politik republik ini. Dari kejadian G 30 S PKI tahun 1965, di berbagai sekolah
dan kampus muncul KAMI, KAPI dan KAPPI. Lahirnya EXTEMASZ di Bandung pada 1967
dimotori oleh para aktifis KAMI dan KAPI bahkan anak bau kencur setingkat SMP
sudah menjadi motor penggeraknya (teu kabayang barudak ayeuna jiga bisa kitu
?). Di era itu juga lahir JANA BUANA IMT (Ikatan Mahasiswa Tjimahi) pada 1969
(Jadi inget pun bapa ge aktifis HIMAPA...bukan PA kampus, namun Himpunan
Mahasiswa Paseh, Majalaya yang berseteru dengan IKMABUN alian Ikatan Mahasiswa
Ibun, Majalaya)...ini menunjukkan begitu dinamisnya fenomena gerakan anak muda
di tiap pelosok kampung saat itu.
Di sekolah
tingkat SMA juga lahir yang namanya KOJARSENA (Komando Pelajar Serba Guna),
maklum saat itu operasi Dwikora dan Trikora membutuhkan para sukarelawan yang
siap diterjunkan di medan tempur. Dan tak dapat dipungkiri kehadiran PA intra
SMA juga tak bisa lepas dari kiprah para aktifis KOJARSENA.
Di tatanan
global, pasca perang Vietnam, hadir Flower Generation yang mendobrak tradisi
dengan anti kemapanannya. Gelombang demostrasi anti perang para mahasiswa yang
didukung kaum intelektual di luar pemerintahan telah melahirkan kesadaran akan
perlunya upaya penyelamatan planet bumi ini, lahirlah Earth Day atau Hari Bumi
pada April 1970, yaitu Hari Lingkungan Hidup versi rakyat sipil (bersamaan
dengan hadirnya generasi Hippies dan Woodstock Nation di dunia musik rock saat
itu). Tak mau kalah pamor, di tahun 1972, lewat Deklarasi Stockholm, PBB
mencanangkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Kedua
momentum global yang membuat kesadaran baru, menjadikan Green Movement menjadi
green Party di beberapa negara. Dari demo di jalanan menjadi kekuatan politik
di parlemen. Lantas kita gimana?
Ketika muncul
"Gerakan Tidak Mempercayai Kepemimpinan Nasional" alias Gerakan anti
Soeharto pada 1978, dimana sebagian para aktifis juga barudak SMA, maka
mendorong lahirnya PA intra SMA alias Sispala. Energi yang memuncak disaat itu
disalurkan dengan naek gunung (jadi inget Soe Hoek Gie alm yg gugur di puncak
Mahameru dengan bukunya "Catatan Seorang Demostran"). Nah ketika para
pendiri Sispala itu jadi mahasiswa, mereka-pun menjadi pioneer berdirinya
Mapala2 di berbagai kampus di era 1980-an.
Patut dicatat
juga saat itu (Oktober 1980) lahirnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
sebagai Forum organisasi pegiat lingkungan hidup. Pada saat itu lahir UU Pokok
Lingkungan Hidup No. 4 tahun 82 yang membuat kesadaran baru dalam sisi ekologis
di tanah air...ramailah acara menanam pohon untuk menyelamatkan hutan yang kian
kritis. Lahir pula istilah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) menggantikan ORNOP
(Organisasi Non Pemerintah) yg jadi terjemahan dari NGO (Non Govermental
Organization). Bersamaan dengan populasi manusia yang kian meningkat lahir pula
FISKA (Forum Informasi Studi Kependudukan) yang kini entah gimana nasibnya?
Padahal secara politis saat itu merupakan mitra dari kementrian KLH
(Kependudukan dan Lingkungan Hidup) yang digawangi oleh Bp. Emil Salim.
Eh ada yang
lupa...pada tahun 1977 dunia petualangan tanah air diramaikan dengan lahirnya
para pemanjat legendaris dengan bendera SKYGERS yang dimotori Mas Harry
Soeliztiarto. Begitu-pun dunia arung jeram menjadi mainan keren saat itu, walau
sebagian memakai perahu mamooth pontoon alias perahu pendaratan pasukan amphibi
seperti saat farewel party Citarum sebelum digenanginya menjadi waduk Saguling,
Gegeloan itu adalah pengarungan di malam hari dilakukan oleh barudak WITS (Wild
Trip Services). Tentu tak lupa hormat terpanjat pada Bah Ukok alm dari W yang
menjadi pioneer dalam Citarum Rally saat itu.
Dunia PA kian
berkibar bersamaan dengan agenda rutin Gladian Nasional yang digelar pertama
kali tahun 1970 di Citatah, Momentum Gladnas IV di Ujung Pandang melahirkan
" Kode Etik PA Indonesia"...sampai terakhir Gladnas XIII digelar di
NTB pada 2009....setelah itu di kalangan Mapala digelar secara rutin yang
namanya TWKM (Temu Wicara Kenal Medan) yang tentu diharapkan masih bisa
berkibar mengingat PA intra kampus menyandang tugas yang lebih strategis bagi
masa depan negara ini....(meni seurieus kitu nya...).
Secara
perundangan pada tahun 1985 lahir UU keormasan dimana organisasi massa
dikategorikan dalam 3 bidang, yaitu Profesi, Minat dan Hobby...upaya ini
merupakan penyeragaman bentuk yg nyata2 ditentang oleh kalangan organisasi PA.
Sehingga keterlibatan organisasi PA dalam politik praktis tak pernah terjadi
dan tak menggiringnya menjadi bagian dari KNPI.
Jangan
dilupakan juga era 90-an hadir mainan baru yaitu caving dan potholing yang
digawangi teman2 dari Garba Bhumi dan Hikespi (Speleologi), lalu barudak tebing
membuat FPTI dan barudak cai membuat FAJI....disinilah mulai rada rame dunia
persilatan...hijrahnya para amatiran menjadi profesional. Tersegmentasilah menjadi
Barudak Demo (yang berorientasi pada kondisi kerusakan lingkungan), ada juga
Barudak Papan 12 m-an yang menjadi rame setelah hadirnya Climbing wall. Lalu
tentu ada Barudak Outbound yang membuat paket2 instan untuk jadi petualang.
Re-orientasi
bukan dis-orientasi, PA sebagai wadah yg melahirkan integrated personality
(generalis) menjadi para spesialis yang jago hanya di satu bidang. PA tak lagi
hanya jadi terminal untuk melangkah ke depan, tapi bagi sebagian orang menjadi
gantungan hidup....(teu salah sih...).
Itulah
sekedar kilas balik historis, agar untuk melangkah ke depan jelas pijakannya.
Kini kita
dihadapkan pada sikon yang berbeda dengan para pendahulu kita. Tantangan dan
peluang eksistensi PA kedepan tak bisa diharapkan dari para inohong PA yang
telah membuat legenda-nya sendiri. Paradigma saat ini adalah mengukur dari para
player-nya sendiri yaitu barudak kiwari.
Kita hanya
berupaya membuat guide line ke depan agar di era bonus demografi tahun 2020 -
2030 anak2 Sispala dan Mapala bisa berdiri tegak paling depan. Pada era itu
yang hanya tinggal 2 tahun lagi, anak2 PA akan menjadi motor penggerak dari
gerbong besar 70% penduduk negeri ini yg berisi angkatan kerja terbanyak di
dunia. Namun bagi Jawa Barat dengan penduduk saat ini 45 juta, bonus demografi
nanti artinya akan terjadi lonjakan penduduk yang tentu secara tata ruang,
semakin banyak manusia, maka harusnya semakin banyak hutan, karena akan
membutuhkan semakin banyak air...
Jadi kalau
rakyat Jabar mau selamat, maka barudak PA lah salah satu yg harus berperan
mengatasi degradasi lingkungan dan kerusakan alam akibat eksploitasi yang kian
tak terkendali. Itulah yang harus jadi warisan buat anak cucu kita....Kalau
alam sudah rusak, apalagi yang akan kita cintai.
Positioning
barudak PA, baik secara individu yg harus selalu menjalani paradigm shifting,
membangun pengetahuan,sikap dan tindakan dengan dasar nasionalisme dan wawasan
kebangsaan membuatnya tak perlu diragukan lagi dalam soal "Bela
Negara". Posisi di masyarakat-pun akan membuat sistem raising social
awareness, karena soal militansi dan solidaritas sudah ditanamkan sebagai
bagian dari pendidikan karakter. Dengan kekuatan potensi yang tidak terukur
untuk menginvestasikan amal kebajikan, maka peranan bagi negara juga diperlukan
untuk mengawal bahkan merevisi kebijakan yg dirasa tidak berpihak pada rakyat
jelata.
Khususon
untuk Jabar yang memiliki 368 PTS dan 11 PTN, kondisi saat ini belum memberikan
konstribusi optimal untuk solusi (dan koreksi) pembangunan, dikarenakan masih
lemahnya sinergitas diantara mereka. Nah kalangan Mapala bisa menjadi pemicu
(trigger) hadirnya tatanan penguatan baru ditengah ego sektoral dan fanatisme
almamater yang kian jomplang di dunia kampus. Egaliter menjadi barang langka
ditengah dunia hedonisme mahasiswa.
Makanya tak
aneh kalau saat ini upaya penghancuran generasi ini sudah dimulai sejak dini,
sejak anak SMP sudah gencar dihajar narkoba. Lalu upaya2 sistemis juga
dikembangbiakan lewat racun media, menjadi generasi lebay bin alay. Lantas
lewat LGBT dikampanyekan same sex marriage. Itu semua hakekatnya adalah lawan
yang nyata, agar anak muda kita hancur berantakan.
Kini setelah
disahkannya MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada 2015 lalu (tadinya tahun 2020),
ini menunjukkan upaya penjegalan terhadap Bonus demografi kita, agar anak
bangsa ini tak menjadi leading sector. Sehingga dengan kapasitas SDM saat ini,
kita kelimpungan, karena baik dari sisi Hard Skill, Interpersonal skill,
Attitude dll, kita masih keteteran,
Mengejar
peranan untuk menjadi garda terdepan bangsa ini adalah menjadi kiprah
pendidikan yang ada di dunia PA. Kalau kalian gagal, siap2lah hanya jadi
generasi bengong yang cuma jadi penonton.
Itulah
perlunya re-desain pendidikan PA Indonesia, agar mampu menjawab tantangan yang
nyata2 menghadang di depan mata.
Satu abad PA
Indonesia, semoga tak sekedar utopia
Memang masih
panjang cerita perjuangan kita, mencari jati diri (esensi dan eksistensi) PA
Indonesia, tak perlu dengan imitasi dan duplikasi dari luar, karena hakekatnya
sudah hadir dalam kearifan lokal Nusantara untuk menjadi benteng pertahanan
terakhir. Peranan apa nanti di saat satu abad PA Indonesia, tergantung apa yang
dilakukan hari ini.
Selamat
ber-kongres- ria, Selamat bersilaturahmi, tak perlu kentut organisasi dibuat
seragam.
Semoga
tulisan ini bermanfaat...dan akan kalian saksikan aku masih tetap setia dan
kalian anak2ku akan berdiri tegar bagai karang di tengah lautan !
#panjangumurpecintaalamIndonesia#
Majalaya
ba'da isya 10 Maret 2017
* sebagai
tambahan informasi catatan sejarah yang penting, pada kolom komentar, Pakdhe Johny
Wirosableng menambahkan/koreksi dengan menyebutkan:
“…tanpa
mengurangi rasa hormat hanya sekedar meluruskan saja bahwa PPA (Perkumpulan
Pentjinta Alam) Yogya bentukan pak Awibowo yaitu tgl 18 Oktober 1953, kemudian
IPKA (Ikatan Pecinta Keindahan Alam) Indrakila Malang pd tgl 17 Agustus 1955
dan MERMOUNC pd tgl 9 Agustus 1965. Utk tataran Jawa Barat juga ada KAWANA dari
Tasikmalaya, PAKSI EXTRASS dari Sukabumi, MAMOUC dari Cianjur, CARA CARA dan
LAWALATA dari Bogor, sedang dari Gresik ada SWELAGIRI yg didirikan tgl 15 Mei
1967, demikian tambahan saya kang, hatur nuhun.”
Hampir satu abad perjalanan panjang pencinta alam, sudah banyak
perubahan menyertainya, terutama kecenderungan dari kegiatan kepencintaalaman
itu sendiri yang sebelumnya eksklusif di lingkungan kelompok pencinta alam,
kini lebih terbuka dan umum dilakukan masyarakat non-pencinta alam.
Hari ini, bersamaan dengan berubahnya semangat jaman dalam kegiatan
alam bebas, saya melihat, pencinta alam pun tengah dalam proses berubah
beradaptasi terhadap tantangan jaman mutakhir, salah satunya kawan-kawan
pencinta alam hari ini berusaha 'kembali pada alam' yang justru itu tidak umum
dalam suasana pencinta alam era satu abad sebagaimana dituliskan kang Ham. Kembali kea lam dalam arti, ia menuju
pada semangat yang lebih sensitif terhadap isu-isu kelestarian alam, di samping
jargon kelestarian yang sudah lama digaungkan.
Ketidakumuman yang dimaksud di atas, bisa jadi memang di masa abad
pertama perjalanan pencinta alam, 'memerhatikan alam' tidak dilihat sebagai
kegiatan utama, sebab lebih menonjol pada kegiatan adventure-nya, dan di sisi
lain pencinta alam yang 'memerhatikan alam' di masa itu diidentikkasi pada
aktivitas khusus melalui eksistensi organisasi seperti Walhi dll.
Namun demikian, saya berpendapat ajakan kang Ham, harus tetap
diinisiasi, ga perlu segera, “slow
but sure” saja,
kumpulkan data sebanyak mungkin, tracking tokoh-tokoh dari yang nge-pop, indie,
hingga tokoh penting yang bersembunyi di kesunyian sejarah pencinta alam, meski
saya agak malu menyebut dan membahas term "pencinta alam", tetapi
melihat buku-buku tebal catatan kegiatan kepencintaalaman di perpustakaan
pribadi kang Ham di
Balerancage Majalaya, ketersediaan
buku-buuku tersebut jelas membuat saya antusias, memikirkan serius
wacana menulis sejarah pencinta alam.
Dan satu hal lagi yang paling penting, sejarah ini bisa menggenapkan
visi dari eksistensi pencinta
alam ke depan, sebagaimana ungkapan orang bijak yang menyebutkan,
sebaik-baiknya memetakan arah masa yang akan datang adalah dengan mempelajari
masa lalu.
_____
Sumber Foto: Deni Hamdani, Dok GkadBas VU Krakal, Yogyakarta 1980
Comments
Post a Comment