Pamali: Efektivitas Mitos VS Konstitusi

P.A.M.A.L.I

Banyak orang menilai "pamali" sebagai bentuk ungkapan yang eksis hanya untuk menakut-nakuti masyarakat.

sebut saja misalnya:

"pamali, tong diuk di hareupeun panto... bisi nongtot jodo"
"pamali, tong miceun runtah ka walungan... bisi aya jurig jarian"
"pamali, tong nuar tangkal... bisi gering"
"pamali, tong ka sengapan leuweung... aya aul"

dan seterusnya...

setiap ungkapan di atas dianggap hanya sebatas adagium (peribahasa) yang dihadirkan hanya untuk menakut-nakuti masyarakat.
kemudian, sebagai masyarakat mutakhir kita memaksa ungkapan "kolot" tersebut untuk diterjemahkan secara logis, apakah masuk akal atau tidak.

"pamali nongtot jodo" dirasionalisasi sebagai bentuk larangan "hanya" sebatas jangan duduk di depan pintu sebab menghalangi jalan.

jurig jarian, gering, hingga aul sebagai manusia dengan kepala ajag dianggap irasional, sehingga bobotnya hanya sebatas untuk menakut-nakuti, dan tidak masuk akal.

alasannya, jelas tidak masuk akal ada manusia berkepala ajag, tidak ada hubungannya menebang pohon dengan jatuh sakit, apalagi mengakui keberadaan "jurig" yang berarti makhluk non-realis di jaman modern seperti sekarang ini. itu semua, hanya mitos!

penilaian tersebut menunjukkan bahwa kita, masyarakat, sudah terputus koneksinya dengan nilai-nilai budaya asli yang sudah hidup lama dan dipatuhi masyarakat.

nilai-nilai etika diterjemahkan sebagai nilai logika, maka setiap ungkapan yang tidak logis ditinggalkan.

celaka-nya
celakanya, sebagai masyarakat mutakhir kita telah meninggalkan etika ajaran lama, tetapi di saat yang sama kita tidak mampu meraih konsepsi logis.

sederhananya, aturan lama ditinggalkan, konsepsi baru (konstitusi) tidak diamalkan.

PAMALI VS KONSTITUSI
jika aturan non-formal berupa "pamali" hingga "mitos" dianggap menakut-nakuti belaka, sebetulnya konstitusi sebagai ungkapan logis, rasional, yang merepresentasikan cara hidup manusia mutakhir, jauh lebih mengerikan dan menakutkan dibanding konsekwensi pamali.

lihat bagaimana konstitusi beroperasi, dan menghadirkan konsekwensi:

jika masyarakat lama cukup menghadirkan "pamali membuka hutan larang" sebagai bentuk perlindungan hutan dan gunung-gunung. masyarakat modern berjibaku dengan aturan yang rumit sehingga melahirkan UU no 5 1990, 41 1999 dan seterusnya.

jika masyarakat lama cukup menghadirkan "pamali membuang sampah ke sungai". masyarakat modern (Bandung misalnya) berjibaku, bekerja keras menciptakan aturan berupa Perda K3 no 11 tahun 2005.

perhatikan bagaimana konsekwensi hukum yang dibangun masyarakat modern dibandingkan aturan "buhun".

1.
menurut aturan "BUHUN", masuk hutan larang konsekwensinya "pamali" kemudian dihadirkan "aul" misalnya. selesai, sebatas itu.

menurut aturan KONSTITUSI, masuk hutan larang (cagar alam) konsekwensinya DIPIDANA 10 tahun PENJARA dan DENDA 5 MILYAR.

2.
menurut aturan "BUHUN", membuang sampah ke sungai konsekwensinya "pamali" kemudian dihadirkan "jurig jarian" misalnya. selesai sebatas itu.

menurut aturan KONSTITUSI berupa PERDA, membuang sampah ke sungai didenda 50 JUTA.

PERTANYAANNYA:

mana yang lebih menakutkan antara sosok aul dan pamali, dibanding denda 5 MILYAR dan PIDANA 10 TAHUN PENJARA? bagi pelanggaran masuk hutan larang.

mana yang lebih menakutkan antara sosok jurig jarian dan pamali, dibanding denda 50 JUTA? untuk membuang sampah ke sungai.

masyarakat modern yang rasional, dan logis, tentu lebih takut menghadapi PIDANA dan DENDA hingga milyaran, dari pada konsepsi pamali, dan sosok mitologis yang tidak masuk akal.

tetapi, ketika faktanya setiap aturan tersebut dilanggar:
pernahkah kita mendengar ada orang yang dipenjara dan dipidana hingga 5 milyar karena masuk kawasan cagar alam?

pernahkah kita mendengar puluhan atau ratusan bahkan ribuan orang didenda 50 juta karena telah membuang sampah ke sungai?

jika aturan tersebut efektif untuk masyarakat modern, seharusnya sampah tidak pernah kita temukan lagi di sungai, hutan larang dan lindung terjaga kelestariannya.

tetapi faktanya, sampah semakin mudah kita temukan bergelimang di sungai, hutan semakin mudah kita saksikan mengerut, rusak tak tertahankan.

kenapa?
sebab kita sama sekali tidak memiliki ikatan, koneksi imanen dengan aturan-aturan mutakhir yang dibuat dengan "hanya" konsepsi logis belaka.
manusia Sunda --dan nusantara-- yang hidup ribuan tahun dengan hutan dan gunung-gunung, tiba-tiba hari ini "dipaksa tunduk" dan diatur oleh aturan yang sama sekali terasing dari kesadaran kolektif manusia Sunda.
bahkan aturan tersebut dibuat oleh peradaban kolonial, yang kesehariannya hidup di antara laut, Belanda!.

MANIFESTASI ETIK
nongtot jodo, jurig jarian, aul, larangan, sebagai fragmen dari konsekwensi "pamali" adalah manifestasi etik yang menjadikan manusia yang mengimaninya patuh.

"pamali" adalah manifestasi etik, ungkapan yang menjadi kendaraan yang dibuat agar yang memahaminya tunduk.

"pamali" adalah manifestasi etik, mitos yang dijadikan alasan sehingga masyarakat disiplin terhadap aturan "kolot".

basisnya etika, argumentasinya empiris, sehingga manusia yang mempraktekannya tidak membutuhkan alasan logis sebagai dasar kepatuhan.

sebagai manusia mutakhir, keberadaan konsepsi lampau tersebut sama sekali tidak musti dihadirkan kembali untuk menegasi aturan formal konstitusional.

keberadan konsepsi "buhun" bagi manusia masa kini penting untuk dijadikan dasar utama setiap produksi aturan formal.

artinya:
setiap ilmuan, pemerintah, hingga dewan, kembalilah ke rumah, lembur (kampung), dan desa-nya masing-masing.
gali-lah setiap nilai-nilai yang hidup di masyarakat terkait pengelolaan alam.

kembalilah ke masa "lampau" ketika cara memperlakukan alam telah mapan diterapkan sistem lama.
sebab sejatinya, sistem yang efektif dalam memperlakukan alam adalah budaya dan peradaban itu sendiri yang hidup di atas bumi-nya.

-----

ilustrasi:
aul ~ manusia dengan kepala ajag
karya Setia Adhi Kurniawan (2015)

Comments

Popular Posts