SEPULUH RIBU GUNUNG DI TASIKMALAYA


"Raden, Gunung Tanpa Tutugan...".
.
Hampir sebulan yang lalu, sengaja berkunjung ke Tasikmalaya. Tujuannya selain untuk silaturakhmi, juga untuk memastikan (untuk mengalami, empiris, saba) keberadaan gunung yang dicatat hampir berjumlah 4000 (empat ribu ) buah gunung, untuk hanya di satu kecamatan bernama Singaparna. 
.
Sudah jadi kebiasaan, dalam melakukan penelitian tentang gunung-gunung —terutama dari setiap kunjungan untuk memverifikasi suatu hal, informasi, dan atau data— sekurang-kurangnya selalu melakukan dua hal, pertama; pengamatan langsung, dan kedua; wawancara. Secara praksis kedua kegiatan tersebut berarti; menulis apa yang dilihat, mencatat apa yang didengar, itulah hal yang sederhana dari pengamatan langsung dan wawancara . 
.
Tentu saja, riset tentang gunung sarebu di Tasikmalaya yang oleh Junghuhn dijuluki “Ten Thousand Hills of Tasikmalaya” ini sudah banyak dilakukan, bahkan sejak lebih dari seabad yang lalu (1852), terutama dalam konteks geologi. Dari banyak riset yang sudah dilakukan tersebut telah menghasilkan ketersedian dokumen-dokumen hasil risetnya, dan karena adanya hasil riset tersebutlah mengunjungi gunung sapuluh rebu ini menjadi lebih penting dan menarik. 
.
Di Singaparna, saat bertemu dengan beberapa orang untuk diwawancarai, beberapa tokoh yang ditemui menyampaikan bahwa "keberadaan gunung sarebu yang menunjukkan jumlah ribuan gunung di Tasik tersebut hanya peristilahan belaka". Beberapa lainnya bahkan sama sekali tidak mengetahui adanya ribuan gunung untuk hanya satu kecamatan di Singaparna tersebut, baik sebagai istilah maupun secara faktual. 
.
Dari hasil wawancara, biasanya meskipun subjek/objek/tema yang ditanyakan sudah tidak ada, tetapi paling tidak masih bisa dicatat sebagai cerita yang dikenal pernah ada secara lisan di tengah masyarakat. Maksudnya, meskipun katakanlah gunung sarebu sudah tidak ada, tetapi diharapkan masih bisa didengar kisahnya dari masyarakat terkait keberadaan gunung sarebu yang pernah ada. 
Sayang sekali terkait gunung sarebu, di lapangan sama sekali tidak dapat dicatat data bahkan hanya berupa cerita dari sumber yang diwawancarai, maka apa yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan pengamatan langsung. 
.
.
Radius Lokasi Gunung Sarebu
.
Dasar pengamatan yang dijadikan pegangan adalah data yang dikemukakan oleh seorang Belanda bernama Escher tahun 1925, dalam catatannya disebutkan keberadaan gunung sarebu berada di Singaparna, desa Sukaratu, Sindanggalih, Cibodas, dan Asta. 
Melalui pengamatan langsung, ternyata tempat yang disebutkan di atas sudah banyak berubah. Seperti yang bisa kita lihat di foto pertama, diketahui kini ternyata Sukaratu sudah bukan lagi letak administratif sebuah desa, melainkan sudah menjadi sebuah kecamatan. 
Pengamatan keberadaan gunung seribu kemudian dimulai dari tempat yang menunjukkan tulisan “kecamatan Sukaratu” tersebut, dan sesuai dengan data tempat yang dipegang, berakhir di sebuah tempat bernama Asta.
.
Dalam penelusuran berdasarkan tempat tersebut, ternyata jarak dari Sukaratu hingga ke tempat bernama Asta yang belakangan diketahui sebagai sebuah kampung ini, berjarak kurang lebih 30km. 
Artinya, gunung sarebu yang awalnya dikira sebagai kompleks pegunungan kecil untuk hanya satu desa dan kecamatan saja, ternyata sejak lampau berada di luasan area yang mencapai panjang hampir 30 kilo meter –berdasarkan rekaman km kendaraan dan GPS– dan kini mencakup dua kecamatan. 
.
Dari hasil pengamatan tersebut, kita bisa melihat keseriusan peneliti Belanda yang dengan detail telah menyajikan hasil pengamatannya terkait jumlah gunung yang hampir mencapai 4000an gunung tersebut. Dapat dibayangkan, bisa jadi kerja lapangan dalam mengidentifikasi gunung-gunung tersebut dilakukan pada masa wilayah Tasikmalaya masih didominasi bekas-bekas letusan Gunung Galunggung (2167 Mdpl) dengan radius yang tidak bisa dianggap kecil untuk ukuran menghitung ribuan gunung. 
.
.
Kategori Gunung.
.
Hasil dari identifikasi yang dilakukan Escher yang dilakukan terhadap luasan radius 30km tersebut, menghasilkan klasifikasi ketinggian gunung dan jumlah yang detail. Nama “gunung sarebu” atau “bukit sepuluh ribu”dalam pengertian Junghuhn, tepatnya merupakan nama yang menunjukkan kompleks pegunungan, bukan nama satu gunung. Kompleks pegunungan ini membentang sepanjang 30km dari Sukaratu hingga Asta dan berhasil diidentifikasi oleh Escher dengan jumlah sebanyak 3.648 (tiga ribu enam ratus empat puluh delapan) buah gunung lengkap dengan rincian ketinggian prominen-nya. 
Terdapat 2.571 buah gunung dengan ketinggian 10 meter, hingga 2 buah gunung dalam catatannya yang memiliki ketinggian kurang lebih 70 meter. 
Catatan penting dari jumlah detail tersebut adalah; 10 hingga 70 meter ketinggin di atas sekali lagi merupakan ketinggian prominen, bukan ketinggian meter di atas permukaan air laut. 
Apa itu ketinggian prominen? Secara popular bisa didefinisikan sebagai ketinggian relatif gunung, lebih tepatnya lagi ketinggian prominen adalah apa yang dalam konteks masyarakat Sunda difahami sebagai ketinggian yang diukur dari titik batas “tutugan” gunung. Tutugan gunung adalah dasar unggulan (tonjolan) setiap kondisi alam yang disebut gunung. “tutugan” bersama “puncak” adalah syarat utama sebuah kondisi alam dapat disebut “gunung”. Maka, ketika ada ungkapan “gunung tanpa tutugan”, ibarat kita menyebutkan “sumur tanpa dasar”.
Sumbangan dari hasil penelitian Escher, selain tentu saja penting buat dunia geologi, tetapi juga penting dalam konteks budaya, sebab catatan Escher mempertegas konsepsi masyarakat Sunda dalam memproduksi pengetahuan, klasifikasi, dan kategori sebuah bentang alam dapat disebut gunung. 
Jumlah 3.648 buah gunung dalam penelitian Escher bukanlah istilah ribuan gunung secara hiperbola, tetapi menunjukkan jumlah eksistensi atau keberadaan jumlah gunung yang memang hampir menyentuh 4000 (empat ribu) buah gunung dalam arti sebenarnya. Salah satu bukti yang dapat dicatat dari lapangan adalah, setiap gunung-gunung kecil yang merupakan bagian dari 3.648 buah gunung yang berada dalam radius 30km dari Sukaratu hingga Asta tersebut memiliki nama-nama tersendiri, dan benar-benar diperlakukan sebagai gunung oleh masyarakat. 
.
.
Mengunjungi gunung sarebu pada akhirnya tidak hanya sekadar membuktikan Tasikmalaya memiliki jumlah gunung yang jauh lebih banyak dari Bandung (yang memiliki 700 buah), tetapi melalui kunjungan tersebut semakin memperkuat bahwa gunung sebagai konsep, tidak hanya sekadar ketinggian “mdpl” belaka. Dan yang terpenting adalah, keseriusan Escher dalam melakukan penelitian, dari sisi detail, hingga kerja kerasnya dalam mencatat dan mengenal gunung-gunung di Tasikmalaya, sesungguhnya merupakan refleksi bagi kita yang menghuni peradaban mutakhir, terutama perihal; seberapa banyak kita mengenal dan mengetahui lingkungan sekitar kita? Seberapa tinggi keinginan kita untuk menjaganya? Seberapa besar kita mencintainya? 
Sebab, dalam benyak kesempatan, tak jarang ditemukan, keterputusan pengetahuan segaris dengan pembiaran kerusakan, dan berakibat kemusnahan.
.
.
Gunung seringkali ditafsirkan dengan konsep guru, guriang, guru hyang, guru nu agung, guru nu luhung, tempat mencari, tempat pencerahan, serta mengajarkan untuk mengamalkan. Sementara  “tutugan” adalah batas suatu kondisi alam dapat disebut gunung, maka adagium “gunung tanpa tutugan” mengajarkan  —setiap orang yang mempelajari, mendaki, dan mencintai gunung-gunung— bahwa tidak ada kata berakhir untuk terus belajar dan mencari.  
.
Catatan:
1. Literatur terkait data Escher berangkat dari telaah toponimi, jadi bobot literaturnya bisa jadi bukan primer, dan sangat dimungkinkan ada kekurangtepatan detail data, tetapi tidak merubah esensi.
2. Ada banyak kemungkinan perbedaan data aktual, dan karena itu sangat terbuka untuk dikritisi, dan sangat terbuka untuk masukan serta saran.
.
_______

Comments

Popular Posts